Pasar Sumput Diduga Jadi Sarang Mafia Pungli: Nilai Karcis berbeda dengan tarikan sebenarnya, Pedagang Menjerit, Pengelola Sulit di hubungi 

Berita Utama3 Dilihat
banner 468x60

Gresik || Gemparnews.id –

Pasar Sumput yang berada di Desa Sumput, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik, kini jadi buah bibir dan menuai gelombang protes warga. Bukan karena ramainya aktivitas jual beli, melainkan karena bau busuk dugaan pungutan liar yang kian mencengkeram para pedagang. Alih-alih menjadi aset desa untuk kesejahteraan rakyat, pasar ini justru menjelma mesin pemerasan yang dikendalikan segelintir orang rakus.

banner 336x280

Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa biaya sewa satu stand di Pasar Sumput mencapai Rp 21.000.000,-. Angka fantastis yang membuat warga heran : uang sebesar itu mengalir ke mana? Tidak ada laporan, tidak ada transparansi, tidak pernah dibahas dalam forum desa.

Lebih parah lagi, setiap pedagang dibebani biaya harian Rp 3.000,-. Padahal, karcis resmi yang dibagikan tertulis hanya Rp 2.000,-. Selisih Rp 1.000,- per pedagang per hari ini jelas mencurigakan dan mengindikasikan adanya permainan kotor.

Seorang pedagang sembako yang tidak mau disebut namanya dalam pemberitaan menyebutkan bahwa biaya sewa stand sebesar Rp 21 juta selama 3 Tahun tersebut tidak pernah dibahas dirapat – rapat yang diadakan pemerintah Desa, bahkan mereka setiap hari masih diperas Rp 3.000,-. Padahal di karcis jelas tertulis Rp 2.000,-.

“Bayangkan, sewa stand Rp 21 juta, tiap hari masih diperas Rp 3.000,-. Padahal di karcis jelas tertulis Rp 2.000,-. Kalau dibiarkan, kami bukan lagi pedagang, tapi sapi perah. Jangan-jangan uang itu masuk kantong pribadi oknum.”

Pungutan liar tidak berhenti pada pedagang penyewa stand. Para pedagang kecil yang berjualan di depan toko atau pinggir jalan di area pasar pun ikut jadi korban. Mereka dipaksa setor uang jika ingin tetap berjualan.

“Jualan di depan toko saja masih dipalak. Padahal kami hanya dagang kecil-kecilan, kadang untungnya nggak sampai Rp 50 ribu sehari. Tapi pungutannya tetap dipaksa. Kalau nolak, diusir. Ini jelas-jelas penjajahan di desa sendiri,” ujar Nurul (42), pedagang sayuran.

Dari hasil penelusuran, muncul nama Rokim sebagai pengelola Pasar Sumput. Namun, setiap kali awak media atau warga berusaha mencari klarifikasi, Rokim selalu sulit ditemui. Seolah ada “tembok tebal” yang sengaja dibangun untuk menutup akses informasi.

Lebih ironis lagi, menurut salah satu tokoh masyarakat, kepala desa tidak pernah membahas dana pendapatan pasar dalam rapat desa. Bahkan, rapat-rapat yang digelar hanya dihadiri kroni-kroninya saja.

“Setiap rapat, yang diundang hanya orang-orang tertentu. Kami masyarakat biasa, apalagi pedagang kecil, tidak pernah dilibatkan. Dana pasar tidak pernah dibahas peruntukannya. Semua ditutup rapat-rapat,” ungkap Sutikno (55), tokoh masyarakat Desa Sumput.

Praktik pungutan liar di Pasar Sumput jelas melanggar sejumlah regulasi dan masuk kategori kejahatan. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Salah satu Contohnya, Pada Pasal 24 ditegaskan bahwa pengelolaan aset desa harus berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Faktanya, dana pasar Sumput justru dikelola tertutup.

Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa juga dijelaskan pada Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi semua penerimaan desa dari aset harus dibahas dalam musyawarah desa. Nyatanya, pedagang tidak pernah diundang. dan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diPasal 156 juga mengatakan retribusi hanya sah jika diatur dengan Peraturan Daerah (Perda). Tanpa Perda, semua pungutan termasuk ilegal.

Bahkan UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) diPasal 12 huruf e mengatakan pejabat yang memaksa seseorang membayar sesuatu yang tidak seharusnya bisa dihukum minimal 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

Presiden Republik Indonesia juga menginstruksikan melalui Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2016 tentang Pemberantasan Pungli, Menegaskan bahwa setiap pungutan tanpa dasar hukum adalah kejahatan yang merugikan masyarakat kecil.

Salah satu pemerhati kebijakan publik Gresik yang ditemui wartawan media ini, mengecam keras praktik ini. Ia menyebut Pasar Sumput bukan lagi pasar rakyat, melainkan sarang mafia pungli.

“Coba hitung. Karcis Rp 3.000,- dipaksa setiap hari, padahal tertulis Rp 2.000,-. Kalau ada 500 pedagang, selisih Rp 1.000,- berarti Rp 500 ribu per hari. Dalam setahun bisa Rp 180 juta lebih hanya dari pungutan karcis. Itu belum sewa stand Rp 21 juta yang tidak jelas arahnya. Ini jelas-jelas skema korupsi terstruktur dan sistematis.”

Menurut Budi, aparat penegak hukum harus segera turun tangan. “Kalau dibiarkan, Pasar Sumput akan menjadi preseden buruk pengelolaan aset desa di Gresik. Ini bukan sekadar salah urus, ini perampokan terang-terangan terhadap rakyat kecil,” tegasnya.

Kondisi ini membuat para pedagang dan warga Sumput benar-benar geram. Mereka menuntut agar pengelolaan pasar segera diaudit, dibuka transparansinya, dan dipertanggungjawabkan secara hukum.

“Kami sudah muak. Sewa mahal, pungutan harian tidak jelas, ditambah pungli kepada pedagang kecil. Kalau aparat hukum tidak bertindak, kami akan lapor ke Inspektorat, DPRD, bahkan KPK. Kami tidak mau terus-menerus diperas di tanah sendiri,” ujar Slamet dengan nada tinggi.

Kasus Pasar Sumput adalah cermin bobroknya tata kelola aset desa. Pedagang bukan lagi subjek pembangunan, melainkan korban pemerasan. Uang rakyat kecil mengalir entah ke mana, sementara pengelola dan oknum desa bersenang-senang di balik rapat tertutup.

Kini bola panas ada di tangan aparat penegak hukum. Pertanyaannya, apakah Pasar Sumput akan dibersihkan dari mafia pungli, atau dibiarkan terus menjadi mesin uang gelap yang menghisap darah rakyat kecil?

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *