MALANG MEMBARA: “CAFE BOY” DI CODO–WAJAK JADI SIMBOL BUSUKNYA HUKUM DAN KEMATIAN MORAL PUBLIK
Malang — Gemparnews.com
Suara gemericik air dan dentuman musik malam kini menjadi dua nada sumbang yang menampar keras wajah moralitas Kabupaten Malang. Di sepanjang jalan raya Codo–Wajak, berdiri sebuah bangunan yang dari luar tampak sederhana, papan nama Carwash, ember, dan selang, namun di balik tembok dinginnya tersembunyi pintu gerbang kemaksiatan bernama “Cafe Boy”, tempat di mana hukum diinjak-injak dan moral publik dijadikan bahan tertawaan.
Dari luar tampak biasa. Tapi di baliknya, ada empat room karaoke tertutup, lampu temaram, dan 13 LC (Ladies Companion) berpakaian minim yang siap menemani tamu hingga tengah malam. Di sana, alkohol mengalir bebas, tawa menggoda bercampur dentuman musik, dan semua itu berlangsung tanpa satu pun izin resmi dari pemerintah.
Menurut penelusuran Redaksi Media ini, pemilik usaha berinisial S menjalankan modus licik dengan menutupi bisnis hiburan malamnya di balik kedok “Carwash”.
“Dari luar kayak cuci mobil, tapi dalemnya karaoke empat room, LC-nya 13 orang, rame terus tiap malam,” ujar seorang warga Desa Codo dengan nada marah.
Bisnis ilegal ini sudah berjalan berbulan-bulan tanpa tindakan. Tak ada izin hiburan, tak ada izin minuman beralkohol, tak ada rekomendasi dari Dinas Pariwisata. Namun anehnya, aktivitas terus berjalan bebas. Tidak ada penyegelan, tidak ada razia, dan tidak ada tindakan tegas dari aparat. Masyarakat pun geram dan menuding ada beking kuat di balik keberanian pemiliknya.
Ketika redaksi Media ini mencoba mengonfirmasi kebenaran informasi ini melalui sambungan WhatsApp kepada Kanit Polsek Wajak, jawaban yang diterima sungguh mencengangkan. Bukan klarifikasi, bukan tindakan, melainkan emoticon bergambar salam dan tulisan “siap pak, saya laporkan atasan dulu.”
Sebuah respons dingin yang menggambarkan betapa lemahnya reaksi aparat penegak hukum terhadap pelanggaran yang nyata di depan mata.
Lambannya penanganan ini bukan sekadar soal disiplin. Ini adalah cermin nyata matinya nyali aparat. Buktinya, setelah pemberitaan mencuat dan laporan warga terus bergulir, malam Kamis, 23 Oktober 2025, tempat tersebut justru menggelar pesta ulang tahun salah satu LC dengan bebas dan terang-terangan. Musik menggelegar, tamu berdatangan, dan miras mengalir seolah tak ada hukum di tanah Wajak.
“Kalau tempat ilegal bisa merayakan pesta besar-besaran setelah ramai diberitakan, artinya mereka benar-benar merasa kebal hukum. Ini bukan lagi bisnis gelap, ini penamparan langsung ke wajah aparat!” ujar salah satu aktivis LSM dengan nada tinggi.
Dugaan kuat muncul bahwa pengusaha berinisial S bukan pemain kecil. Ada “orang kuat” di belakangnya — entah pejabat, aparat, atau pengusaha besar — yang menjaga agar bisnis malam ini tetap aman dari penegakan hukum.
Sumber internal menyebut, setiap minggu ada aliran dana “setoran keamanan” kepada oknum tertentu agar lokasi itu tak disentuh razia.
“Kalau rakyat kecil yang salah, langsung diangkut. Tapi yang punya beking, malah dilindungi. Ini bukan penegakan hukum, ini penghinaan terhadap keadilan rakyat!” kata tokoh pemuda Wajak.
Cafe Boy bukan hanya melanggar norma sosial, tetapi secara hukum adalah pelanggaran berat. regulasi dan pasal-pasal yang diduga telah dilanggar adalah Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Hiburan dan Rekreasi Umum, Pasal 4 ayat (1) : Setiap penyelenggaraan usaha hiburan wajib memiliki izin usaha hiburan dari Pemerintah Daerah.
Pasal 15 : Usaha hiburan tanpa izin dapat dikenai sanksi administratif, penghentian kegiatan, hingga pencabutan izin usaha lainnya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Izin Penjualan Minuman Beralkohol, Pasal 5 : Penjualan minuman beralkohol hanya dapat dilakukan oleh usaha berizin dan terdaftar. Artinya, peredaran miras di “Cafe Boy” tanpa izin merupakan pelanggaran hukum.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (jo. UU 23 Tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 67 huruf b: Kepala daerah wajib menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan di wilayahnya.
Lambannya tindakan Satpol PP dan aparat menjadi indikasi nyata kelalaian terhadap amanah undang-undang.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 506 dan Pasal 296, Mengatur pidana bagi mereka yang memfasilitasi perbuatan asusila atau mengambil keuntungan dari praktik prostitusi terselubung.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 huruf a: Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum.
Ketika pelanggaran terang-benderang dibiarkan, maka ini bukan lagi soal teknis, tapi soal keberanian moral aparat.
Menanggapi kebisuan aparat, Ketua DPP LSM Generasi Muda Peduli Aspirasi Rakyat (GEMPAR) menyatakan bahwa pihaknya akan segera melayangkan laporan resmi ke Polres Malang, Bupati Malang, dan Dinas Pariwisata.
“Kami tidak akan diam. Ini bukan sekadar pelanggaran izin, ini kejahatan moral yang dilegalkan oleh pembiaran aparat. Kami akan membawa bukti, dokumentasi, dan saksi,” tegas Ketua DPP LSM GEMPAR dalam pernyataannya kepada Tarunanews.
Menurutnya, kasus “Cafe Boy” akan menjadi tolok ukur apakah hukum di Kabupaten Malang masih punya taring, atau sudah benar-benar ompong karena digerogoti uang dan kepentingan.
Fenomena “Cafe Boy” bukan sekadar berita hiburan malam ilegal. Ia adalah cermin retak wajah keadilan di daerah.
Bangunan yang berdiri di tepi jalan itu kini menjadi simbol bahwa di negeri ini, yang berani melanggar hukum justru lebih aman daripada yang taat.
Jika aparat terus bungkam, jika pemerintah terus menutup mata, maka bukan hanya moral yang hancur — kepercayaan rakyat terhadap hukum akan mati di tangan para penegak hukum itu sendiri.
Malang kini benar-benar bergetar.
Bukan karena musik dari room karaoke, tetapi karena suara rakyat yang muak menunggu keadilan yang tak pernah datang.









