Kartonyono || Gemparnews.id – Aksi penertiban yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pada Kamis malam, 24 Juli 2025, sekitar pukul 20.30 WIB di Perempatan Kartonyono, menyisakan luka mendalam bagi pedagang kecil. Peristiwa ini tidak hanya menyulut kemarahan warga, tetapi juga menimbulkan dugaan serius terkait pungutan liar dan ketidakadilan dalam pelaksanaan penegakan peraturan daerah.

Seorang pedagang makanan kecil menjadi korban dalam operasi ini. Meja dan terpal miliknya diangkut oleh petugas Satpol PP tanpa dokumen resmi seperti tanda terima atau berita acara penyitaan. “Mereka datang langsung ambil. Tidak ada surat, tidak ada penjelasan, hanya perintah agar saya minggir,” ungkap pedagang yang meminta namanya dirahasiakan.
Berusaha mendapatkan kejelasan, pedagang tersebut mendatangi kantor Satpol PP untuk mengambil kembali barang-barangnya. Namun, jawaban yang didapat justru mengejutkan. “Saya disuruh bayar sejumlah uang kalau mau ambil barang. Saya kaget, kok barang sendiri malah harus tebus? Rasanya seperti dirampok resmi,” ujarnya dengan nada getir.
Menurut warga setempat, penertiban tersebut dilakukan tidak merata. Beberapa pedagang yang menggunakan area serupa tidak tersentuh sama sekali. “Ada lapak lain yang jelas-jelas melanggar tapi dibiarkan. Seolah-olah ada perlakuan beda,” ujar salah satu saksi mata.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan tentang standar pelaksanaan operasi dan integritas oknum petugas di lapangan. Dugaan tebang pilih ini memperkuat persepsi publik bahwa penegakan aturan hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Berdasarkan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum yang menjadi payung hukum Satpol PP, setiap penertiban yang melibatkan pengambilan barang milik warga harus melalui prosedur resmi, termasuk pembuatan berita acara penyitaan dan penerbitan tanda terima barang. Langkah ini bertujuan menjaga akuntabilitas dan melindungi hak warga.
“Jika barang diambil tanpa dokumen resmi, itu sudah masuk kategori pelanggaran prosedur. Apalagi kalau ada permintaan uang untuk mengembalikan barang, itu bisa dikategorikan pungutan liar,” jelas Dr. Iwan Darmawan, pakar hukum administrasi negara dari Universitas Negeri Surakarta.
Menurutnya, korban bisa menempuh jalur hukum dengan melapor ke Inspektorat Daerah, Ombudsman, atau bahkan aparat kepolisian dengan dasar Pasal 368 KUHP tentang pemerasan. “Ini bukan sekadar masalah kecil, tapi soal penyalahgunaan kewenangan,” tegas Iwan.
Tokoh masyarakat Kartonyono, Suroto (54), menilai kasus ini sebagai bukti bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap aparat Satpol PP harus ditingkatkan. “Kita tidak anti-penertiban, tapi caranya jangan seperti preman. Masyarakat kecil juga butuh hidup, dan kalau melanggar aturan ya diberi solusi, bukan dihukum sewenang-wenang,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Satpol PP belum memberikan klarifikasi resmi atas tuduhan pungutan liar tersebut. Pemerintah daerah pun didesak untuk melakukan investigasi menyeluruh dan menindak tegas oknum yang terbukti melakukan penyalahgunaan kewenangan.









