Dinamika Panas Dugaan Mafia Solar Subsidi di Nganjuk: Aroma Konsorsium Ilegal, Ketegasan APH Dipertanyakan Publik
Nganjuk// Gempar) News – Ketegangan antar kelompok yang diduga terlibat dalam praktik penyelewengan solar subsidi kembali memanas di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Aksi perebutan pengaruh dalam bisnis gelap bernilai miliaran rupiah ini kian mencolok, terutama setelah mencuatnya informasi mengenai sebuah lapak solar yang dikaitkan dengan inisial N, yang belakangan disebut menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antar kelompok di lapangan.
Informasi yang diperoleh tim media menyebut bahwa konflik ini bukan sekadar persaingan biasa, melainkan menggambarkan adanya pola gerakan yang lebih besar, lebih rapi, dan lebih terstruktur. Di tengah riuh isu tersebut, nama Haji Wahid, seorang mantan residivis kasus solar ilegal yang kini diketahui terhubung dengan perusahaan Srikarya Lintasindo (SKL), kembali mencuat. Sejumlah narasumber lapangan mengungkap bahwa dinamika antar kelompok yang bersaing memunculkan dugaan adanya konsorsium mafia solar yang beroperasi dengan skema organisasi yang tidak sederhana.
Namun, seluruh dugaan tersebut tetap berada di ranah informasi awal yang harus diuji kebenarannya. Penetapan keterlibatan seseorang atau kelompok mana pun sepenuhnya berada di tangan aparat penegak hukum (APH) melalui penyelidikan resmi yang transparan.
Merebaknya berbagai nama dan kelompok yang diduga terlibat membuat masyarakat semakin gusar. Publik mulai mempertanyakan sejauh mana ketegasan aparat untuk benar-benar membongkar dan memutus rantai praktik ilegal yang sudah bertahun-tahun merugikan negara ini.
Sejumlah warga dan pemerhati hukum menduga adanya pola kerja yang begitu terkoordinasi, seolah-olah para pelakunya bergerak dengan keberanian ekstra—sebuah fenomena yang biasanya hanya terjadi jika ada “payung” atau “perlindungan” dari oknum yang memiliki pengaruh tertentu.
Kondisi ini memunculkan sentimen keras dari publik. Mereka menilai bahwa APH tidak boleh lagi hanya bertindak reaktif, melainkan harus hadir dengan pendekatan yang lebih tegas, menyeluruh, dan tidak pandang bulu. Transparansi penanganan perkara menjadi harga mati untuk menghindari spekulasi liar yang terus berkembang.
Jika dalam proses penyidikan para pelaku terbukti melakukan penimbunan, penyalahgunaan, atau penyelewengan BBM subsidi, ancaman hukumnya tidak main-main. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi melalui Pasal 55 dengan tegas menyebutkan Pidana penjara maksimal 6 tahun, dan Denda maksimal Rp 60 M
Jumlah denda yang tidak kecil tersebut menggambarkan betapa seriusnya negara memandang kejahatan komoditas energi strategis. Kerugian negara akibat mafia solar bukan sekadar angka—ia merampas hak masyarakat kecil yang seharusnya menikmati BBM bersubsidi.
Tim investigasi media memastikan akan terus mengikuti perkembangan kasus ini secara intensif. Bukan sekadar melaporkan, tetapi benar-benar mengawasi agar proses hukum berjalan sebagaimana mestinya.
“Transparansi adalah kunci. Kami berharap APH tidak ragu untuk membuka fakta apa adanya. Mafia solar subsidi tidak boleh lagi diberi ruang untuk berkembang,”ujar salah satu anggota tim investigasi yang terlibat dalam penelusuran kasus tersebut.
Hingga kini, perkara yang ditengarai melibatkan konflik antar jaringan mafia solar di Nganjuk masih berada dalam tahap penyelidikan. Namun publik sudah terlanjur menunggu langkah konkret. Apakah APH mampu menghadirkan proses yang profesional, independen, tanpa tekanan, dan benar-benar terbuka?
Atau justru kasus ini akan kembali tenggelam seperti berbagai kasus serupa sebelumnya?
Masyarakat kini menunggu dan kali ini, mereka tidak ingin hanya diberi janji, tetapi bukti nyata bahwa hukum benar-benar bekerja.









