Narasi Sepihak dan Fakta yang Dibelokkan: Klarifikasi Keras atas Tuduhan Sepihak Kasus Honda Jazz Milik Yanuar

Berita Utama1 Dilihat
banner 468x60

Narasi Sepihak dan Fakta yang Dibelokkan: Klarifikasi Keras atas Tuduhan Sepihak Kasus Honda Jazz Milik Yanuar

Sidoarjo – Publik kembali disuguhi pemberitaan yang setengah matang dan terkesan menggiring opini tanpa mengindahkan asas keberimbangan jurnalistik. Berita yang beredar tentang dugaan pengambilan paksa mobil milik Yanuar Agustinus, warga Desa Janti, Kecamatan Tarik, bukan hanya menyesatkan, tetapi juga mengandung aroma manipulatif yang berpotensi mencemarkan nama baik pihak lain yang justru menjadi korban fitnah terselubung.

banner 336x280

Bagaimana tidak? Dalam berita yang tersebar, Yanuar dan istrinya, Dini Suprapti, tampil bak korban yang tidak bersalah, sementara nama EP digambarkan seolah-olah sebagai pelaku pengambil paksa unit mobil. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, kasus ini tidak sesederhana seperti narasi yang mereka lontarkan ke publik.

Sumber internal yang enggan disebut namanya justru mengungkap fakta mencengangkan: unit mobil Honda Jazz W 1162 NT tersebut diduga kuat bermasalah sejak awal, karena Yanuar meminjamkannya kepada seseorang bernama Dedik tanpa kejelasan perjanjian hukum dan tanpa dokumen resmi. Ironisnya, ketika mobil tersebut berpindah tangan dan muncul indikasi adanya transaksi tersembunyi di antara pihak-pihak terkait, justru EP yang dijadikan kambing hitam.

“EP bukan mengambil paksa. Dia justru menemukan mobil itu berada di tempat yang tidak semestinya dan punya dasar kuat untuk mengamankannya karena ada indikasi penyalahgunaan kendaraan,” ujar seorang sumber terpercaya dari lingkungan hukum yang mengetahui prosesnya.

Lebih jauh, tindakan Yanuar yang melapor ke Polsek Tarik sejak 24 September 2025 itu juga dinilai sebagai langkah reaktif tanpa dasar hukum yang jelas. Hingga kini, polisi masih menelusuri kebenaran materiil dari laporan tersebut, termasuk kemungkinan adanya rekayasa atau pengalihan isu untuk menutupi masalah sewa menyewa yang tidak transparan.

Menariknya, berita sebelumnya dengan sengaja menonjolkan sisi emosional korban—dengan kutipan seperti “belum mendapat SP2HP”—namun sama sekali tidak menyinggung fakta bahwa laporan tersebut masih dalam tahap verifikasi dan belum memenuhi unsur pidana yang kuat. Artinya, kasus ini bukan lamban, melainkan memang sedang ditelusuri secara hati-hati agar tidak ada pihak yang dijatuhkan tanpa bukti.

Sementara itu, pihak kepolisian yang disebut belum memberikan keterangan resmi, sebenarnya sedang mengumpulkan data tambahan. “Jangan asal tuduh. Kami bekerja dengan bukti, bukan dengan narasi media,” tegas seorang aparat yang menolak disebutkan namanya.

Lebih parah lagi, pernyataan Dini Suprapti yang menyebut EP ‘menunjukkan mobil dan berjanji mengembalikannya’ juga patut dipertanyakan kebenarannya. Sebab, dalam klarifikasi lain, EP justru menyebut bahwa dirinya tidak pernah berjanji apa pun, melainkan hanya menunjukkan unit yang tengah diamankan agar tidak kembali disalahgunakan.

Apabila benar mobil itu disewa oleh Dedik, mengapa Yanuar tidak menempuh jalur perdata atas penyalahgunaan kontrak? Mengapa justru menuding pihak lain sebagai pelaku kriminal? Pertanyaan ini menguatkan dugaan bahwa laporan tersebut hanyalah upaya pengalihan tanggung jawab dan penciptaan citra korban palsu di hadapan media.

Dunia jurnalistik seharusnya tidak menjadi panggung untuk menebar narasi sepihak. Ketika sebuah media memberitakan dengan nada menggiring tanpa menyertakan hak jawab dan data hukum yang akurat, maka media itu sesungguhnya telah melanggar etika dan menodai marwah profesi pers.

Sampai berita ini diturunkan, pihak EP tengah menyiapkan langkah hukum untuk melaporkan balik pihak-pihak yang menuding tanpa bukti serta melakukan somasi kepada media yang menulis berita tendensius tanpa konfirmasi resmi.

“Kami sudah kumpulkan semua bukti komunikasi dan saksi yang tahu kronologinya. Kalau mereka terus bermain narasi palsu, kami siap tempuh jalur hukum,” ujar salah satu kuasa hukum EP dengan nada tegas.

Kasus ini jelas bukan sekadar persoalan mobil, melainkan tentang harga diri, kebenaran, dan tanggung jawab moral media dalam menyajikan fakta yang utuh. Publik kini menanti, apakah penegak hukum berani menindak tegas bukan hanya pelaku pemutarbalikan fakta, tetapi juga oknum yang memanfaatkan ruang publik untuk menggiring opini dan menjatuhkan orang lain demi kepentingan pribadi.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *