Jombang || Gemparnews.id – Aroma busuk dugaan penyelewengan kembali bau di tubuh pemerintahan desa. Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TGAI) yang sejatinya bersifat swakelola, dikerjakan langsung oleh masyarakat desa penerima manfaat, justru disulap menjadi lahan empuk bancakan oleh pihak-pihak tertentu. Fakta mencengangkan ini terbongkar saat tim media melakukan investigasi lapangan pada Jumat (12/9/2025).
Di lokasi proyek P3TGAI Desa Darurejo, Kecamatan Plandaan, tim media menemukan kenyataan pahit: para pekerja yang menggarap pembangunan bukanlah warga desa itu sendiri. Seorang warga yang ditemui di sekitar lokasi, dengan wajah kecewa, mengatakan bahwa Yang kerja bukan orang sini pak, kalau tidak salah orang Pojoklitih
“Yang kerja bukan orang sini pak, kalau bukan salah orang Pojoklitih,” ungkapnya.
Pernyataan itu sontak menimbulkan tanda tanya besar. Sebab, dalam papan informasi proyek tertulis jelas bahwa pekerjaan P3TGAI wajib dilakukan secara swakelola, melibatkan masyarakat setempat, dan tidak boleh sama sekali dipihakketigakan. Namun, kenyataan di lapangan justru bertolak belakang: proyek diduga kuat telah “dijual” ke pemborong.
Untuk memastikan kebenaran informasi, tim media mendatangi Balai Desa Darurejo. Namun, balai desa itu bagaikan rumah kosong. Kepala Desa tidak ada di tempatnya, perangkat desa pun tampak seperti batang hidungnya. Suasana sepi itu justru memperkuat dugaan bahwa ada praktik kotor yang sengaja ditutupi.
Masyarakat pun menilai, ketidakhadiran kepala desa saat media turun ke lapangan bukan suatu kebetulan, melainkan upaya menghindar dari tanggung jawab.
Menurut data resmi, setiap proyek P3TGAI mendapat kucuran anggaran Rp195 juta – Rp250 juta per titik. Jika dikerjakan swakelola, biaya riil di lapangan untuk saluran irigasi dengan panjang 100 meter dan lebar 0,5 meter hanya membutuhkan sekitar Rp65 juta – Rp70 juta.
Astimasi Hitungan Detail Pembangunan berdasarkan HSPK Kabupaten Jombang 2025 adalah Galian tanah sebesar Rp3.250.000, Pasangan batu kali sebesar Rp21.250.000, Plesteran dinding saluran sebesar Rp5.500.000, Upah pekerja sebesar Rp16.500.000, Bahan tambahan + transportasi sebesar Rp20.000.000 dan total astimasinya hanya Rp66.500.000
Dengan perkiraan anggaran resmi Rp 200 juta, maka terdapat selisih sekitar Rp120–130 juta yang mungkin dijadikan ajang bancakan. Jika benar proyek ini dipihakketigakan, maka keuntungan kotor bisa langsung masuk ke kantong oknum tertentu tanpa meninggalkan manfaat nyata bagi masyarakat.
Bang Tyo, DPP LSM Gempar, dengan nada tegas menyoroti kasus ini.
“Sangat mengerikan, program yang seharusnya bermanfaat bagi masyarakat kecil justru dijadikan bancakan. Ada dugaan kuat proyek ini sudah diarahkan ke pihak ketiga. Lalu ke mana masyarakat setempat? Kenapa tidak dilibatkan? Apakah ini konspirasi jahat antara kepala desa dengan pemborong untuk mengeruk anggaran negara? Ini jelas perbuatan melawan hukum!” tegasnya.
Lebih jauh lagi, ia menegaskan bahwa praktik ini bukan hanya pelanggaran administrasi, melainkan kejahatan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
“Kalau begini, ini pembangunan bukan, tapi penjarahan anggaran. Kepala desa yang menyerahkan proyek ke pemborong sama saja menjual hak masyarakatnya sendiri. Ini pengkhianatan terhadap rakyat, pengkhianatan terhadap amanah negara,” tandasnya dengan suara meninggi.
Bang Tyo mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk tidak berdiam diri.
“Kami menuntut APH, baik kepolisian maupun kejaksaan, segera turun tangan. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kalau aparat di Jombang tidak berani menindak, kami akan membawa kasus ini ke provinsi, bahkan sampai pusat. Jangan biarkan uang rakyat Rp120 juta lebih hilang begitu saja dijadikan bancakan!” tegasnya.
Ia juga meminta dilakukan audit forensik untuk mengungkap arus dana, dari pencairan hingga pelaksanaan. “Kalau terbukti, kepala desa dan pemborong harus segera diproses hukum. Jangan tunggu sampai rakyat kehilangan kepercayaan total pada pemerintah desa,” tambahnya.
Kasus ini bukan sekedar skandal di satu desa. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka ribuan proyek P3TGAI di seluruh Indonesia bisa bernasib sama: hanya jadi mesin bancakan bagi segelintir oknum.
Program yang sebenarnya untuk meningkatkan produktivitas pertanian justru berubah menjadi ladang korupsi berjamaah. Negara dirugikan, rakyat dikhianati, pembangunan hanya jadi slogan kosong.
Kasus dugaan penyelewengan P3TGAI Desa Darurejo kini menjadi sorotan tajam. Publik menantikan keberanian aparat hukum untuk mengungkap skandal ini, menghitung potensi kerugian negara, dan menyeret para pelaku ke meja hijau. Jika dibiarkan, bukan hanya negara yang rugi Rp120 juta lebih, tapi juga kepercayaan masyarakat yang terkikis habis. Rakyat hanya ingin mengipasi, bukan konspirasi!









