Gresik || Gemparnews.id –
Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Gresik yang seharusnya menjadi ajang demokrasi internal penuh gagasan dan komitmen politik justru berubah menjadi panggung penuh tanda tanya besar. Bukan hanya sekadar isu internal biasa, tapi lebih menyerupai drama politik murahan yang menyingkap wajah asli budaya politik lokal: tertutup, penuh intrik, dan jauh dari nilai transparansi.
Sorotan publik kian tajam setelah Redaksi memperoleh percakapan Ketua DPD Golkar Gresik, Nurhamim, yang secara gamblang menyampaikan pernyataan mengejutkan. Dalam percakapan tersebut, Nurhamim menegaskan:
“Namanya juga dunia politik mas, yang penting skema dan tujuan akhirnya tetap untuk kepentingan organisasi (kepentingan organisasi harus diletakkan di atas kepentingan pribadi dan kelompok) mas 🙏”
Pernyataan itu sekilas terdengar normatif. Namun yang mengundang gelombang kritik adalah kelanjutannya. Ketika disinggung soal pernyataan kontroversial dari salah satu anggota partai yang dinilai mencederai nama besar Golkar, Nurhamim justru menambahkan kalimat yang jauh lebih mengkhawatirkan:
“Minta tolong yang gini-gini jangan di-up dulu mas, mungkin kesepahamannya masih kurang lengkap sehingga muncul statemen kayak gitu 🙏🙏”
Kalimat ini seketika menjadi bahan bakar api kekecewaan publik. Bukan karena isinya diplomatis, melainkan karena pesan tersirat yang sangat jelas: masalah internal jangan sampai diketahui publik, media harus bungkam, dan transparansi dianggap ancaman.
Alih-alih menegakkan etika politik dengan klarifikasi terbuka, Nurhamim justru mendorong praktik politik gelap: menutup rapat-rapat persoalan internal, membatasi ruang kontrol publik, dan secara tidak langsung membungkam kerja-kerja media. Sikap seperti ini bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap nilai demokrasi, tapi juga pukulan telak terhadap wajah partai politik yang seharusnya menjadi contoh keterbukaan.
Golkar sebagai partai besar yang punya sejarah panjang seharusnya tampil menjadi teladan. Namun di Gresik, justru yang tampak adalah upaya sistematis untuk menjadikan Musda sebagai panggung transaksional elit. Demokrasi internal yang mestinya dihidupi dengan debat gagasan dan pertarungan visi, berubah menjadi arena manipulasi di balik meja rapat, jauh dari sorot mata publik.
Pernyataan Nurhamim bukan sekadar kalimat. Ia adalah cermin krisis etika politik yang tengah melanda partai di tingkat daerah. Etika publik dikesampingkan, keterbukaan dimusuhi, dan demokrasi hanya menjadi jargon kosong. Bila praktik ini terus dibiarkan, Musda Golkar Gresik bukan hanya gagal sebagai pesta demokrasi internal, tetapi juga akan meninggalkan luka dalam bagi wajah demokrasi lokal.
Kasus ini memperlihatkan dengan telanjang bagaimana politik di tingkat daerah sering kali terjebak dalam budaya tutup mulut. Padahal publik berhak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di tubuh partai. Bila partai saja tidak mampu menjaga transparansi dan etika, bagaimana mungkin mereka bisa dipercaya mengelola kepentingan rakyat di level yang lebih luas?
Pola politik semacam ini adalah bom waktu. Ia tidak hanya menghancurkan kredibilitas partai, tetapi juga menumbuhkan apatisme masyarakat terhadap demokrasi. Musda Golkar Gresik kini berdiri di ambang: antara memperbaiki wajah politik lokal atau menjerumuskan diri semakin dalam ke jurang krisis kepercayaan.
Lebih dari sekadar dinamika internal, sikap Nurhamim membuka tabir betapa busuknya praktik politik tertutup di daerah. Apa yang terlihat bukan lagi sekadar konflik partai, melainkan peringatan keras bahwa demokrasi kita sedang digadaikan dengan murah. Bila Golkar Gresik gagal mengambil sikap berani dengan menegakkan transparansi, maka Musda kali ini akan tercatat bukan sebagai pesta demokrasi, melainkan sebagai kuburan bagi etika politik dan kepercayaan publik.
(Redaksi)









