Mojokerto || Gemparnews.id–
Aksi demonstrasi yang digagas LSM Forum Aspirasi dan Advokasi Masyarakat (FAAM) Surabaya di Mapolres Mojokerto, Kamis (21/8), berubah menjadi tontonan memalukan. Agenda yang digembar-gemborkan sebagai perlawanan terhadap praktik tambang uruk dan batuan ilegal justru berakhir dengan kekecewaan mendalam. Yang lebih ironis, para jurnalis yang sejak pagi mendampingi aksi malah diperlakukan layaknya “pion politik jalanan” – diajak untuk meramaikan, namun akhirnya ditelantarkan tanpa penjelasan.
FAAM sebelumnya melontarkan janji manis: mengundang media untuk mengawal jalannya aksi dengan alasan memperjuangkan suara masyarakat yang resah atas kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang uruk dan galian batuan tanpa izin jelas. LSM ini bahkan sempat menuding aparat penegak hukum Mojokerto lamban, sebab laporan warga terkait keresahan tersebut sudah lama disampaikan, namun hingga kini belum ada tindakan nyata.
Namun, kenyataan di lapangan justru menohok balik kredibilitas FAAM. Aksi yang seharusnya digelar secara terbuka di depan Mapolres Mojokerto mendadak dialihkan ke sebuah restoran di sekitar lokasi. Kasatreskrim Polres Mojokerto yang baru menjabat pun hadir menemui perwakilan FAAM secara tertutup di sana. Pertemuan yang diklaim “untuk klarifikasi” itu berlangsung tanpa akses terbuka bagi media.
Lebih parahnya lagi, para awak media yang sejak awal dilibatkan justru dibiarkan menunggu tanpa kepastian. Bukan penjelasan hasil pertemuan yang mereka terima, melainkan pemandangan memuakkan: anggota FAAM keluar dari restoran sambil menenteng bungkusan makanan. Seolah-olah agenda serius terkait nasib lingkungan dan masyarakat Mojokerto diperdagangkan murah dengan sekadar jamuan makan siang.
“Ini jelas penghinaan terhadap profesi jurnalis. Dari awal kami diajak untuk mendukung aksi, tapi pada akhirnya justru ditelantarkan. Tidak ada transparansi, tidak ada hasil yang jelas. Malah ada kesan FAAM dan aparat sedang memainkan skenario mereka sendiri,” tegas seorang jurnalis lokal dengan nada kesal.
Situasi ini langsung menyulut spekulasi liar: benarkah FAAM sungguh-sungguh memperjuangkan isu tambang ilegal, ataukah sekadar menjadikan isu itu sebagai alat tawar-menawar di belakang layar? Publik pun kian pesimis, sebab bukannya konsisten melawan dugaan praktik tambang liar, FAAM justru terlihat melempem di hadapan aparat.
Tambang uruk dan galian batuan ilegal di Mojokerto bukan perkara sepele. Aktivitas tersebut merusak ekosistem, mengancam lahan pertanian, hingga menimbulkan keresahan sosial. Tetapi alih-alih mendesak Polres untuk segera bertindak, FAAM justru memberi ruang spekulasi adanya “deal-deal gelap” yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Kini bola panas ada di tangan Polres Mojokerto. Masyarakat menanti: apakah laporan warga soal tambang ilegal benar-benar ditindaklanjuti, atau justru dibiarkan menguap bersama aroma pertemuan tertutup yang penuh tanda tanya itu.
Sementara bagi FAAM, aksi ini menjadi preseden buruk. LSM yang semestinya berdiri di garda depan memperjuangkan kepentingan rakyat malah dinilai mempermainkan awak media dan menggadaikan agenda perjuangan. Transparansi yang mereka gaungkan mendadak hilang, berganti dengan dugaan oportunisme yang murahan.
Jika pola seperti ini dibiarkan, maka tidak hanya kredibilitas FAAM yang runtuh, tetapi juga kepercayaan publik terhadap gerakan LSM secara umum. Sebab, publik tentu tak ingin perjuangan rakyat hanya dijadikan komoditas tawar-menawar di meja restoran.









